Minggu, 16 Februari 2020

Minyak Kelapa Ekstrak Nenas

Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang cukup luas  dan berada sepanjang garis pantai di Kabupaten Lingga. Hasil kelapa rakyat dijual dalam bentuk buah segar ke pasar-pasar tradisional, dijadikan  santan untuk makanan dan minyak goreng.
Secara tradisional masyarakat mengolah kelapa menjadi minyak tanah dengan cara pemisahan bakal minyak (krim dan skim) melalui tahapan pemanasan yang relatif lama. Cara ini banyak menimbulkan kerugian karena mutu minyak yang dihasilkan rendah, minyak tidak tahan simpan, cepat tengik dan warna kurang bagus serta pemborosan bahan bakar. 
Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kerugian adalah dengan cara fermentasi dengan menggunakan enzim bromelin dan nanas. 
Kami tim KRENOVA Tanjung Harapan Singkep berupaya untuk mengembangkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk menggunakan metode ini dalam upaya meningkatkan kualitas produksi minyak kelapa.

Alat : 
1. Parut Kelapa
2. Kuali
3. Kompor/tungku
4.
Bahan:
1. Kelapa
2. Enzim bromelin
3. Nanas




 Penyiapan sari nanas : Siapkan nanas yang masak, kulitnya dikupas mata dan tulang buahnya dibuang, diblender daging buahnya, peras airnya dan disaring
  1. Penyiapan santan Kelapa : siapkan kelapa yang sudah tua dan segar, lalu diparut. Tambahkan air, lalu diperas (perbandingan air dan kelapa 1 : 2). Perasan santan siap untuk diberi enzim
  2. Pemisahan air dari krim  santan dengan penambahan sari nanas : santan kelapa ditempatkan dalam ember plastik transparan. Masukkan sari nanas ( santan dari 20 butir kelapa di200cc sari nanas) diaduk dan dibiarkan selama 3 jam ( terjadi pemisahan air dan krim santan)
  3. Keluarkan air dengan slang plastik. Pindahkan krim santan ke dalam kuali besi. Masak santan di atas tungku pemasak dengan api sedang. Selama pemanasan dilakukan pengadukan dengan hati-hati. Setelah minyak keluar, api dikecilkan( jaga agar krim tidak lengket di kuali). Pemasakan dilanjutkan sampai tidak terbentuk gelembung lagi. Minyak yang diperoleh disaring dengan kain saring. Untuk pemurniannya setelah dingin, penyaringan dilakukan sebanyak 4 kali menggunakan kertas saring yang dilapisi kapas. Minyak dikemas  dengan kemas plastik, lalu diseal. Minyak kelapa siap untuk digunakan dan dipasarkan.

STYROFOAM BATAKO


Pada suatu bangunan gedung pada umumnya digunakan batu bata sebagai penyekat ruangan, karena adanya suatu kendala cuaca yang tidak dapat memproduksi bata, bangunan yang secepatnya butuh penyelesaian atau daerah tertentu misalnya di pegunungan yang memiliki keterbatasan bahan baku untuk membuat batu bata maka dipakai batako sebagai pengantinya Batako biasanya dibuat dari campuran semen + pasir + air dengan perbandingan tertentu, namun hal ini bukan berarti tidak memiliki masalah karena batako yang terdiri dari campuran antara semen + pasir + air. yang dicetak dengan ukuran tertentu memiliki berat yang cukup besar sehingga mengakibatkan beban yang harus dipikul oleh suatu bangunan bertambah besar dan biaya transportasi tambah mahal. Batako juga mempunyai permukaan yang kasar sehingga akan akan mengurangi estetika. Oleh karena itu kita perlu membuat inovasi baru dari batako yang dapat memiliki berat yang tidak terlalu besar serta bentuk penampang( tekstur) yang halus yaitu dengan memanfaatkan limbah gergaji (serbuk kayu) dan Styrofoam sebagai bahan tambahan untuk membuat batako. Hal ini mengingat serbuk gergaji dan Styrofoam merupakan limbah yang terbuang sehingga dapat dipergunakan dan ramah lingkungan.  Dalam hal ini  kami namakan dengan “BATAKO KEDAP SUARA SERGER STYROFOAM” 

ALAT : 
1. Ayakan
2. Cetakan batako
3. Skop
4. Ember
5. Peralatan uji tekan

BAHAN :
1. Pasir 
2. Semen
3. Air
4. Serbuk Gergaji
5. Styrofoam


  1. Pertama, styrofoam yang berbentuk lembaran digiling sampai hancur menjadi butiran-butiran kecil. 
  2. Kemudian  butiran styrofoam dicampur dengan serbuk gergaji,  pasir dan semen. “Untuk komposisinya sebanyak 30%  dari Styrofoam, 30% serbuk gergaji  lalu dicampur 30 % pasir dan 10% semen dan tambahkan air secukupnya pada adonan agar tidak lengket
  3. Tahap ketiga adalah proses pencetakan dari adonan bahan baku dengan menggunakan mesin pencetakan.
  4. Kemudian penjemuran batako serger styrofoam yang memerlukan waktu setengah hari. Lamanya waktu penjemuran juga bergantung pada jumlah semen yang digunakan. “Makin sedikit semen yang digunakan, waktu pengeringannya juga lebih singkat

Batako serger styrofoam memiliki ciri fisik hampir sama dengan ukuran bata merah. Namun, batako dari hasil limbahan serbuk gergaji dan  styrofoam ini memiliki keunggulan dibanding dengan bata merah. Selain lebih mudah dalam pemasangan, batako serger styrofoam mampu meredam suara sehingga sangat cocok digunakan pada bangunan untuk studio band. “Ini karena kandungan serat pada Styrofoam dan serbuk gergaji  sebagai bahan baku batako cukup tinggi.




Batako serger styrofoam terdiri dari batako kecil dengan  ukuran 40x20x9 cm dan batako besar berukuran 60x20x10 cm.


Batako Botol

Batako biasanya dibuat dari campuran semen + pasir + air dengan perbandingan tertentu, namun hal ini bukan berarti tidak memiliki masalah karena batako yang terdiri dari campuran antara semen + pasir + air. yang dicetak dengan ukuran tertentu memiliki berat yang cukup besar sehingga mengakibatkan beban yang harus dipikul oleh suatu bangunan bertambah besar dan biaya transportasi tambah mahal. Batako juga mempunyai permukaan yang kasar sehingga akan akan mengurangi estetika. Oleh karena itu kita perlu membuat inovasi baru dari batako yang dapat memiliki berat yang tidak terlalu besar serta bentuk penampang( tekstur) yang halus yaitu dengan memanfaatkan limbah gergaji (serbuk kayu) dan Botol aqua sebagai bahan tambahan untuk membuat batako. Hal ini mengingat serbuk gergaji dan botol aqua merupakan limbah yang terbuang sehingga dapat dipergunakan dan ramah lingkungan.  Dalam hal ini  kami namakan dengan “BATAKO BOTOL”  Proyek inilah yang mulai ditekuni di banyak daerah, terutama di negara-negara berkembang. Botol plastik menjadi pilihan karena kini keberadaannya melimpah. Setiap hari, jutaan orang mengonsumsi air minum dalam kemasan. Dengan demikian, jutaan botol juga berakhir di gunungan sampah setiap harinya.

Seperti halnya sampah plastik lain, botol-botol minuman takkan membusuk dan terurai dengan sendirinya. Jika dibuang atau dibakar begitu saja, hanya akan menambah polusi, entah polusi tanah, air, atau udara.

Karena itu, daur ulang adalah pilihan terbaik untuk mengatasi sampah-sampah plastik. Menggunakannya sebagai material bangunan jadi salah satu cara daur ulang yang masih terus dikembangkan.

ALAT : 
1. Ayakan
2. Cetakan batako
3. Skop
4. Ember


BAHAN :
1. Pasir 
2. Semen
3. Air
4. Serbuk Gergaji
5. Botol aqua

CARA KERJA
  1. Pertama botol aqua ukuran kecil yang sama diisi dengan serbuk gergaji yang sebelumnya telah diaduk dengan air agar tetap lembab.
  2. Kemudian botol aqua disusun 3 x 2 dan ujung-ujungnya  diikat 
  3. Siapkan adonan semen dan tambahkan air secukupnya pada adonan agar tidak lengket
  4. Tahap keempat adalah proses pencetakan dari adonan bahan baku dengan menggunakan mesin pencetakan.
  5. kemudian penjemuran batako botol yang memerlukan waktu setengah hari. Lamanya waktu penjemuran juga bergantung pada jumlah semen yang digunakan. “Makin sedikit semen yang digunakan, waktu pengeringannya juga lebih singkat

Alat Pengubah Air asin Menjadi tawar

Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara geografis berupa kepulaun yang terdiri dari 7 kabupaten kota. Salah satunya yaitu Kabupaten Lingga yang terletak dibagian timur  ibukota Provinsi Kepri. Lingga merupakan perkampungan di bibir pantai, dikelilingi oleh hutan bakau. Sebagian besar mata pencharian penduduk sebagai nelayan, Lingga juga mempunyai objek wisata budaya, yaitu pesta laut, tetapi pada umumnya masyarakat di Kabupaten .Lingga sangat kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setelah melihat, mendengar, dan belajar tentang Lingga, dan merupakan sebuah perkampungan yang terletak di atas laut maka saya untuk membuat sebuah Inovasi dan Penelitian sederhana untuk mengubah “Air laut menjadi air tawar” sehingga bisa membantu  memecahkan permasalahan masyarakat di perkampungan Lingga atau pun di Kecamatan-Kecamatan yang ada di Lingga akan kebutuhan air tawar (untuk mandi, mencuci, minum, dan lain-lain) serta memudahkan mereka dalam menjangkau kebutuhan akan air tawar. Bukan saja untuk masyarakat di perkampungan Lingga tetapi kami berharap semoga alat ini berguna.

ALAT PENGUBAH AIR ASIN MENJADI AIR TAWAR “TAFREKAS”” yang artinya : teknologi tepat guna mengubah air laut menjadi air tawar, agar dapat mendatangkan manfaat yang berguna bagi kehidupan yang akan datang dalam menempuh  kehidupan di masa depan. Alat ini  menghasilkan inovasi sederhana mengubah air laut menjadi air tawar dengan bahan utama tabung freon bekas sehingga kami namakan “TRAFEKAS”, agar kebutuhan air tawar bagi masyarakat yang hidup dipesisir pantai dapat terpenuhi. Serta melihat keadaan akhir-akhir ini dimana air tanah banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari sehingga memungkinkan terjadinya penurunan permukaan tanah dan dapat mengakibatkan terjadinya banjir, hal ini juga terlihat dikehidupan ibukota (Jakarta) dimana setiap tahunnya selalu menjadi langganan banjir, yang pada akhirnya dapat menghambat proses pertumbuhan dan keberlanjutan pembangunan, kita harus mengurangi.

proses pemakaian air tanah dengan cara memanfaatkan air laut yang berlimpah, untuk itu
maka teknologi tepat guna untuk mengubah air laut menjadi air tawar ini diharapkan akan
menjadi solusi untuk mengatasi masalah kebutahan air tawar bagi masyarakat yang hidup
dipesisir pantai maupun di ibukota dengan memanfaatkan tabung Freon bekas.  Alat  ini dirancang dengan cara pengelohan sederhana teknologi tepat guna mengubah air laut menjadi air tawar. Data dasar ini diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk proses pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

ALAT :
1. Kompor : pembakaran /pemanasan 
2. Indikator Universal : pengukur Ph air
3. Gelas ukur : banyaknya air
4. Salinometer : pengukur garam
5. Stopwacth : pencatat waku 
BAHAN :
1. Air laut
2. Air pendingin bebas
3. Tabung almunium 1 buah
4. Pipa tembaga 4 m bekas ac
5. Double nepel 4 buah
6. Elbow 1 buah
7. Sambungan pipa bekas ac
8. Kran besi 3 buah
9. Ember pendingin bekas kaleng cat besar
10. Botol 


CARA KERJA

1. Siapkan tabung, lubangkan tabung sebanyak 3 buah dgn ukuran diameter 5/8 cm 
a) Lubang pertama letaknya di dinding tabung letaknya 5 cm dari permukaan bawah tabung ,lubangnya berdiameter 5/8 cm dan langsung di pasang double nepel dan kran  ke1 gunanya di pasang/dilubangkan adalah tempat pembuangan hasil penyulingan/pemisahan zat .
b) Lubang kedua letaknya di dinding tabung letaknya 15 cm di atasnya lubang yang pertama tadi tabung ,lubangnya berdiameter 5/8 cm dan langsung di pasang double nepel dan kran ke 2 gunanya di pasang/dilubangkan adalah untuk intake air asin/masuknya air asin.
c) Lubang ketiga letaknya di permukaan atas tabung di centernya kita lubangi berdiameter 5/8 cm dan langsung di pasang elbow, double nepel dan kran ke 3 gunanya di pasang/dilubangkan adalah untung output uap.

2. Sambungkan sambungan pipa dan double nepel kemudian langsung double nepelnya di masukan ke dalam kran ke 3 .
3. Siapkan pipa tembaga dan mur ,kemudian mur di masukan kedalam pipa dan ujung pipa di kembangkan sehingga mur tidak bisa keluar dari pipa dan bisa di sambungkan ke dalam sambungan pipa.
4. Kemudian atur lah pipa tembaga menjadi spiral dan ukuran spiralnya di sesuaikan dgn ukuran diameter baskom bekas cat yang mau di gunakan.
5. Lalu masukan pipa tadi ke dalam baskon untuk kondensasi dan pipa untuk sambung ke sambungan pipa dan out put air tawarnya di sesuaikan dgn kondisi.
6. Botol/galon untuk menampung air tawarnya. 




Pakan Ternak dari Limbah hasil laut


Provinsi Kepulauan Riau merupakan negara maritim yang memiliki luas teritorial laut memiliki banyak sekali biota laut. Salah satu biota laut yang melimpah dan menarik adalah Kepiting Ranjungan. Keiting Ranjungan yang banyak diambil dagingnya oleh banyak perusahan industri pengolahan makanan Rajungan tersebar diberbagai daerah terutama daerah yang memiliki pesisir pantai yang memiliki pasir putih, selama ini perusahaan tersebut hanya memanfaatkan daging rajungan untuk di ekspor ke luar negeri dan menyisakan banyak limbah yaitu kulit atau cangkang rajungan, sehingga limbah tersebut menjadi masalah di wilayah kampung, bisa mengakibatkan luka bagi anak-anak yang bermain di pesisir pantai. 

Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam industri pengolahan belum dilakukan secara optimal, utamanya pemanfaatan limbah yang dihasilkan seperti cangkang, tulang, jeroan dan kulit. Cangkang ranjungan adalah limbah utama yang dihasilkan dari industri pasteurisasi atau pengalengan rajungan. Dari sudut pandang bahan bagian limbah tersebut mempunyai kandungan mineral tinggi terutama Ca dan P.

Dalam mengatasi limbah ini maka kami mencoba untuk menjadikan limbah tersebut sebuah pakan ternak agar limbah-limbah tersebut bisa dimafaatkan oleh masyarakat terutama bagi masyarakat yang memiliki peternakan ayam potong maunpun yang buras, sehingga mengurangi biaya pakan ternak sehingga menimbulkan pendapatan yang tinggi dan mengeluarkan biaya produksi yang rendah adapun jenis - jenis ranjungan yand ada di wilayah provinsi kepulauan riau adalaha sebagai berikut :

  • Portunus pelagicus, rajungan biasa
  • Portunus sanguinolentus, rajungan bintang
  • Charybdis feriatus, rajungan karang
  • Podophthalmus vigil, rajungan angin

Dari beberapa ranjungan yang ada untuk masyarakat provinsi kepulauan riau biasa mengembil yaitu ranjungan biasa dan ranjungan karang sedangkan untuk ranjungan bintasng dan ranjungan angin belum dimanfaatkan masyarakat dan belum dioleh oleh masyarakat provinsi kepulauan riau.


Proses Pembuatannya Pakan ternak : 


  1. Dedak limbah hasil laut diproses dengan cara perebusan limbah hingga limbah laut tersebut benar-benar lembut 
  2. lalu dijemur sehingga memudahkan dalam proses penggilingan dan penumbukan limbah tersebut
  3. kemudian limbah yang telah lembut digiling hingga halus 
  4. setelah itu dijemur agar menghilangkan bau.
  5. setelah halus limbah itu dicampur dengan bahan lainnya seperti jagung halus,tepung kanji (Tapioka) serta air secukupnya kemudian diaduk sampai menjadi adaonan padat.
  6. Setelah itu adonan digiling lagi sampai menghasilkan bentuk yang bulat-bulat kecil.
  7. Kemudian,hasilnya dijemur sampai kering(kira kira 2-3 hari).
  8. Setelah kering siap digunakan diberikan ke ternak.



Sabtu, 01 Februari 2020

Strategi Pendamping

Strategi Pendamping 
para pendamping menggunakan strategi pemberdayaan desa dari dua sisi, yaitu mendorong terciptanya masyarakat desa yang aktif dan partisipatif serta mendorong terciptanya pemerintahan desa yang berkualitas dan responsif. Jadi dalam kerja pemberdayaannya, para pendamping sesungguhnya tidak hanya melakukan kerja teknokratis administratif, tapi juga politis. Teknokratis yang dimaksud, para pendamping menjadi fasilitator sekaligus mitra pembelajar pemerintah desa dalam menyiapkan berbagai instrumen kebijakan perencanaan dan penganggaran pembangunan, sehingga pemerintah desa memiliki dokumen perencanaan program prioritas pembangunan desa (RPJMDesa, RKPDesa) dan dokumen anggaran dan keuangan desa (RAPBDesa, APBDesa dan LKPJ). Pendekatan politik yang dimaksud yaitu menguatkan demokratisasi desa, mengangkat representasi masyarakat desa ke atas arena politik kebijakan pembangunan lokal desa dan kawasan perdesaan, sehingga tercipta konsolidasi dan kolaborasi substantif antara masyarakat dengan pemerintah desa melalui gerakan partisipasi masyarakat dalam ruang perencanaan dan penganggaran pembangunan desa. 

Ujungnya, yaitu terciptanya pemanfaatan Dana Desa yang efektif, efisien, akuntabel dan berdaya guna bagi masyarakat. Selama tahun-tahun pelaksanaan UU Desa, utamanya dari sisi pelaksanaan kebijakan Dana Desa, di mana pemerintah, sekali lagi dalam hal ini Kemendesa PDTT, mengiringinya dengan program pendampingan desa, sesungguhnya telah melahirkan keberhasilan berupa perubahan dan kemajuan desa. Perubahan dan kemajuan termaksud dapat dilacak dari performa tangible maupun intangible desa-desa di Nusantara saat ini. 

Perubahan fisik sangat mudah diketahui, karena rata-rata desa saat ini telah mewujudkan belanja anggarannya untuk membangun berabagai jenis sarana dan prasarana fisik desa dalam porsentase anggaran yang lebih tinggi dari pada pos belanja bidang pemberdayaan dan pembinaan kemasyarakatan desa Sebagaimana akan kita simak nanti pada bagian lain buku ini, kerjakerja kolaborasi pendamping dengan dengan masyarakat desa dan pemerintah desa telah mampu memroduksi perubahan dan kemajuan desa baik perubahan yang bersifat tangible seperti bangunan sarana pendidikan, saluran irigasi, drainasi, rumah layak huni dan jembatan maupun peruaban yang bersifat tangible seperti kegotong-royongan, tata kelola aset alam dan keuangan desa, dan tumbuhnya ekonomi lokal. 

Perubahan dan kemajuan desa dalam rupa intangible dapat diketahui dari kemampuan (expertize) pemerintah desa dan masyarakatnya dalam memanfaatkan power berupa kewenangan desa. Kewenangan desa telah mampu diekstraksi oleh desa menjadi energi peubah dari dalam desa (changing from within), sehingga transformasi desa dari desa tertinggal ke desa berkembang, atau dari desa berkembang menjadi desa mandiri berjalan dengan menggembirakan. Energi peubah dari dalam desa sendiri tersebut, sekali lagi dapat berupa “pemerintah desa dan masyarakat telah mampu menunjukkan kemampuannya mengelola kewenangan desa sebagaimana diakui oleh UU Desa yaitu kewenangan desa berskala lokal desa dan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Pemberian kewenangan kepada desa ini juga menyublimasikan energi positif pada desa untuk melindungi aset sosial, sumber daya alam, hingga kedaulatan politik lokal dan kawasan perdesaan. 

Melalui pelaksanaan kebijakan DD, kebutuhan dan kepentingan masyarakat berskala kewenangan desa mampu dijawab oleh desa sendiri tanpa harus bergantung pada kebijakan politik anggaran daerah sebagaimana era sebelumnya. 

SOP Pengelolaan Pendamping Prosefesional

SOP Pengelolaan Pendamping Prosefesional 
Pasca perekrutan dan kontrak individu dilakukan oleh masing-masing calon pendamping mobilisasi pendamping dilakukan mensyaratkan adanya pengelolaan Pendamping Profesional secara efektif dan efisien. Untuk mengelolah sebuah organisasi tentu membutuhkan standar teknis dalam menjalankan mekanisme sebuah program berdasarkan kaidah regulasi yang mengatur sehingga dibutuhkan standar prosedur yang disebut dengan SOP Pengelolaan Pendamping Prosefesional, ini bertujuan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengendalikan sebuah program yang didalamnya memuat detail tugas dan fungsi masing pendamping, tentang  pembinaan, pengendalian, prosedur dan tata cara pengelolaan administrasi kontrak individu dan prosedur pengelolaan pendamping professional, struktur organisasi pendampingan desa  dan mengatur tentang tata cara evaluasi kinerja pendamping profesional, mekanisme pembayaran serta prosedur pelaporan dekonsentrasi oleh Satker P3MD Provinsi maupun laporan pembinaan dan pengendalian pendamping profesional oleh Koordinator Program Provinsi (KPP) dalam rangka tercapainya kinerja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang efektif dan efisien berdasarkan prinsip akuntabilitas. Standar prosedur yang dimaksud menjadi acuan standarisasi pendamping dalam menjalankan kerja kerja pendampingan pemberdayaan secara professional dengan diberikan kewenangan terbatas dan tanggung jawab hukum yang diatur didalamnya sesuai dengan tupoksi masing–masing pendamping. salah satu yang diatur didalam SOP Pengelolaan Pendamping Prosefesional terdapat pada bab prosedur pendamping profesional meliputi mobilisasi, penetapan hari dan jam kerja, relokasi Pendamping Profesional, perijinan cuti dan penentuan hari libur, persetujuan pengunduran diri, PHK, pemetaan kebutuhan sampai dengan tahapan demobilisasi pada saat program berakhir atau lokasi program berkurang jumlahnya. sehingga Satker P3MD Provinsi bersama KPW berkewajiban mengelola Pendamping Profesional secara ketat dan berdisiplin agar pelaksanaan program di tingkat lapangan berjalan optimal.melakukan supervisi dan mengawasi pengelolaan Pendamping Profesional secara nasional dengan menerapkan standar kontrak kerja yang baku secara nasional untuk mengatur hubungan legal administrasif, serta memberlakukan Tata Perilaku (Code of Conduct) dan Etika Profesi, sebagai standar normatif dalam pengelolaan Pendamping Profesional

program-program pemberdayaan PID

program-program pemberdayaan PID 
pengetahuan dan kelembagaan baik sebagai satuan organisasi pengelola program maupun keluaran program. PID dilaksanakan oleh Kementerian Desa  Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dalam skema kerjasama dengan Satuan Kerja Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi (Satker  P3MD  Provinsi). Sumber dukungan anggarannya dari  dari  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagaimana telah disinggung di depan tadi, PID didukung dengan rangkaian kegiatan-kegiatan yang diformat sebagai upaya-upaya peningkatan kapasitas desa melalui kegiatan Pengelolaan Pengetahuan dan Inovasi Desa (PPID) dengan fokus pada bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dan Kewirausahaan, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Infrastrukur Desa. Ada 3 (tiga) komponen utama yang menjadi fokus PID, yaitu:

2. Pengelolaan   Pengetahuan   Inovasi   Desa   (PPID),   yaitu   kegiatan pendokumentasian, penyebarluasan dan pertukaran praktek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang inovatif dengan tujuan memberikan inspirasi kepada Desa untuk memperbaiki kualitas perencanaan dan pembangunan Desa; 

3. Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa (P2KTD) agar Desa mendapatkan jasa layanan teknis yang berkualitas dari lembaga profesional dalam mewujudkan komitmen replikasi atau adopsi inovasi, serta perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa secara regular; 4. Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM), dimaksudkan agar masyarakat desa-desa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk peningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan.

 Untuk merealisasikan PID, di tingkat kabupaten dibentuk lembaga Tim Inovasi Kabupaten (TIK) dan Tim Pengelola Inovasi Desa di level kecamatan. TIK ini terdiri dari perwakilan dari satuan-satuan kerja pemerintah daerah, perwakilan pelaku usaha swasta, perguruan tinggi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Untuk TPID, terdiri dari perwakilan desa dalam suatu kecamatan yang mana disinilah peran pengumpulan produk pengetahuan inovasi desa dilakukan. TPID dengan sejumlah tugas dan anggaran yang diberi sejumlah aggaran (dalam skema dana dekonsentrasi) untuk dibelanjakan dalam dua kegiatan besar yaitu, pendokumentasian inovasi desa (membuat video dan dokumen tertulis pembelajaran inovasi desa) dan menyelenggarakan Bursa Inovasi Desa (BID). Pendamping Lokal Desa (PLD) kemudian menjadi kepanjangan tangan dari Pendamping Desa (PD) dan TPID di tingkat Desa. Tugas utama PLD di sini adalah berkoordinasi dengan PD, TPID, KPMD dan KPM dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan PID di desa-desa lokasi tugasnya.

 Di tingkat kabupaten,kemudian ada tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) bidang pemberdayaan masyarakat desa dan teknologi tepat guna yang membantu fasilitasi implementasi berbagai rangkain kegiatan PID. Perlu diingatkan di sini, bahwa PID mengembangkan misi jangka panjang yakni mendorong meningkatnya penerimaan desa karena adanya topangan produktivitas di bidang kewirausahaan, sumber daya manusia dan infrastruktur. 

Beberapa pra syarat agar misi tersebut tercapai, secara programatik PID merancang indikator capaian yang harus dipenuhi selama kurang lebih dua tahun ke depan. Sebagaimana dapat dibaca pada gambar di bawah, i) PID mentargetkan dapat mengembangkan produktivitas kelembagaan BUMDesa dan produk unggulan desa di 5000 desa, ii) PID menargetkan adanya peningkatan kualitas layanan dari 10.000 posyandu dan 10.000 PAUD, adanya peningkatan kapasitas pelaku BUMDesa dan prukades di 5000 desa, serta meningkatnya kapasitas pengelola embung dan sarana olah raga di 5000 desa, iii) PID menargetkan adanya peningkatan dampak ekonomi desa karena adanya pembangunan embung desa di 5000 desa serta adanya peningkatan dampak ekonomi karena adanya pembangunan sarana olah raga desa di 5000 desa. 

Untuk mencapai target kinerja di atas, kerja mendokumentasikan praktik baik dan upaya penyebarluasannya adalah tangga awal yang penting untuk dilaksanakan. Dalam kerangka managerial PID, hasil pendokumentasian praktik baik disebarluaskan melalui Bursa Inovasi Desa (BID). Sebagai ruang berbagi pengetahuan, BID adalah salah satu kanal untuk mengenalkan praktik-praktik baik dan inovasi desa membangun kepada publik, sehingga tumbuh minat, motivasi dan komitmen dari satu desa ke desa lainnya untuk mereplikasi pengalaman inovatif yang telah dipelajarinya dalam kegiatan BID tersebut Di samping secara teknis disebarluaskan melalui kegiatan Bursa Inovasi Desa (BID), dokumentasi praktik inovatif desa membangun yang diproduksi oleh TPID di bawah koordinasi TIK, disajikan pula dalam berbagai bentuk produk pengetahuan lainnya. 

Beberapa produk yang jamak dipakai pada umumnya dalam bentuk produk audio visual seperti buku, video, info grafis/quote meme, videografis, foto produk, film pendek atau mungkin jingle dan iklan layanan masyarakat di radio dan televisi.

Program Inovasi Desa

Program Inovasi Desa 
Dari ulasan tentang P3MD di atas sesungguhnya terbaca bahwa pemerintah memutus mata rantai model program pemberdayaan masyarakat dan desa antara sebelum dan sesudah UUDesa diundangkan, dalam arti melompat secara asimetrik bergeser dari tradisi lama dalam program pemberdayaan. Maksudnya kurang lebih demikian, program-program pembangunan yang dikemas dalam program pemberdayaan yang beroperasi sebelum UU Desa syarat dengan pendekatan community driven development (CDD) yang menjadikan masyarakat sebagai target utama penerima program. 

Lalu setelah UUDesa diundangkan pada tahun 2014 dan dibarengi oleh berdirinya Kementerian Desa PDTT pada tahun 2015, realisasi gerakan pembangunan dan pemberdayaan desa tak lagi hanya menumpukan pada satuan masyarakatnya, tapi desa sebagai satu kesatuan antara masyarakat, pemerintah desa dan wilayah politik teritorialnya. Sebagai contoh, pelaksanaan IDT, dapat diketahui bahwa IDT memobilisasi kelompok masyarakat (pokmas) sebagai penerima manfaat dana bantuan permodalan. Demikian pula dengan P3DT sampai dengan PPK. 

Bahkan PNPM sekalipun, semuanya membawa uang ke desa dan langsung diberikan kepada masyarakat, dengan cara yang relatif sama yakni mengorganisasikan masyarakat dalam suatu wadah penerima dana bantuan program. Di sini terbaca tidak adanya pelibatan pemeirintah desa di dalamnya. Benar, memang masyarakat dimobilisasi sedemikian rupa untuk merumuskan rancangan prioritas program/kegiatan desa, lalu didorong berpartisipasi ke dalam ruang politik kebijakan (perencanaan dan penganggaran pembangunan desa). 

Tapi pada saat yang sama, power dan keuangan tidak dilekatkan pada pemerintah desa, melainkan pada komunitas penerima manfaat program maupun fasilitator pelaksana program itu sendiri. Jadi, sekali lagi realitas desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berpemerintahan tidak dibaca secara utuh oleh program-program pembangunan yang masuk ke desa. Nah, kehadiran program pendampingan desa sama sekali tidak membawa uang ke desa, melainkan hanya menyediakan pasukan organik yang terlatih untuk bersama desa memompa kemampuan teknokratik dan sosial politik desa agar pemerintah desa dan masyarakat desa memiliki kemampuan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan dan pembangunan desa. 

Posisi para pendamping desa yang jumlah pendampingnya mencapai hampir 40-an ribu sama sekali tidak dilekati power untuk mengimposisi kewenangan dan sumber daya desa. Hanya ditanamkan dedikasi, pengetahuan dan keterampilan pemberdayaan yang dilakukan melalui berbagai media pelatihan maupun konsolidasi para pendamping yang dilaksanakan secara reguler hampir di setiap level wilayah. Sebagaiaman kita tahun, di awal tahun tugas para pendamping desa, Kemendesa PDTT menguatkan kapasitas mereka melalui pelatihan pra tugas. Lalu diperkuat kembali melalui kegiatan pelatihan-pelatihan tematik.  

Prinsip dan Pelaksanaan Progam Padat Karya Tunai

Prinsip dan Pelaksanaan Progam Padat Karya Tunai 
Pelaksanaan PKT ini tentu tidak sekadar memobilisasi manusia desa untuk bekerja, apalagi asal-asalan, yang penting dapat uang. Melainkan memberdayakan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip seperti inklusif, partisipatif dan kegotong-royongan, transparan dan akuntabel, efektif, swadaya, swadaya dan upah layak. Secara teknokratik per Mei 2018 ini, dari 71.958 desa, sebanyak 31.334 desa telah menerima transfer Dana Desa. 25.18% desa atau 7.889 desa berhasil menganggarkan = 30% dari bidang pembangunannya untuk dipadatkaryatunaikan. Dari 7.889 desa yang melaksanakan PKT dengan ketentuan tersebut 2,24%-nya melaksanakan 623 kegiatan, 11,03% melaksanakan 3.070 kegiatan (on going process) dan 86.73%nya, optimistis akan segera menyusul melaksanakan 24.144 kegiatan. Dari pengalaman pelaksanaan PKT di lima provinsi kita patut bergembir, karena program ini memiliki daya dukung tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja lokal desa. 

Di Provinsi Maluku, dari kegiatan pengerukan sungai 1.250 m3 dengan dukungan Dana DesaRp296.830.000 dan 53%-nya untuk upah, mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 77 orang dengan masa kerja setara dengan 28 hari kerja. Di Provinsi Sumater Barat, pembangunan embung seluas 15.625 m3 dengan dukungan Dana Desa Rp810.000.000, mampu menyerap tenaga kerja 50 orang dengan penerimaan upah sebanyak 90 hari kerja. Di Provinsi Sulawesi Selatan, Dana Desa sebesar Rp117.952.500 dengan 32,6%-nya untuk upah, pembangunan jalan tani sepanjang 200 m, mampu menyerap 30 orang dengan waktu kerja setara dengan 14 hari. 

Di Jawa Timur, penerapan PKT juga berhasil menuai kesuksesan. Karena sebanyak 25 rang dapat terserap di dalam kegiatan pembangunan fasilitas prasarana pendukung obyek wisata milik desa 850 m2. Dana Desa untuk biaya pembangunan fasilitas tersebut sebesar Rp172.206.000. Sekali lagi, dapat disimpulkan bahwa PKT bukanlah proyek pekerja rodi, apalagi kerja paksa, melainkan pengorganisirsan warga lokal dengan kesadaran untuk merampungkan kewajiban bersama sebagai elemen desa yang sama-sama memiliki tanggung jawab mengelola Dana Desa menjadi berkah bagi keseluruhan elemen Desa

Peran para pendamping desa

Peran para pendamping desa 
secara umum sangat berarti dalam membantu pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai kesatuan masyarakat dalam mengoptimalkan sumber daya desa, baik yang berupa kewenangan, keuangan maupun aset tangible desa. Terminologi “membantu” yang dimaksud di sini bukan berarti pendamping sebagai gedibal, layaknya budak yang bisa disuruh-suruh seenaknya oleh majikan karena statusnya berada dalam rengkuhan majikan. Membantu di ini sebenarnya tidak menempatkan pendamping desa dengan desa dalam relasi superior vs inferior, melainkan dalam relasi kesetaraan. Mengapa demikian, karena di satu sisi Desa sebagai subyek hukum pelaksana UU Desa telah memiliki kekuasaan dan kewenangannya sesuai dengan UU Desa, tapi di sisi yang lain belum semua desa memahami posisi dan kapasitasnya, sehingga dapat menjalankan mandat UU Desa dengan baik. Maka dari itu, di sinilah posisi pendamping desa menutup ceruk kebutuhan desa tersebut, yaitu ceruk kapasitas desa menjalankan mandat UU Desa. Mungkinkan pendamping desa dapat menutup atau melengkapi sisi kelemahan kapasitas desa tersebut. 

Jawabnya sangat mungkin. Karena sebagai bagian dari keputusan kebijakan dan program pemerintah, tenaga pendamping desa profesional dilengkapi dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan pemberdayaan seperti kemampuan analisis sosial, pengorganisasian, teknikalisasi tantangan dan potensi desa, sampai dengan asistensi pemerintah desa dalam membuat produk dokumen kebijakan pembangunan desa. Jadi secara paradigmatik peran pendamping desa memberdayakan desa dari dua kutub sekaligus, yaitu kutub pemerintahan desan dan kutub masyarakat desa. 

Inilah yang kemudian oleh Sutoro Eko, disebutnya sebagai pendekatan coproduction. Peran pendamping desa, dari atas mendorong pemerintah desa responsif, pro aktif dan rekognitif terhadap suara (voice), dalam arti kepentingan rakyatnya (termasuk yang tidak terkatakan dari rakyat). Dari bawah mengoptimalkan peran serta, emansipasi, dan partisipasi masyarakat dalam berprakarsa dan berinisiatif membangun desa tampa pamrih. 

Strateginya yaitu dengan mendorong tata kelola kebijakan pemerintahan dan pembangunan desa yang baik maupun mendorong peran serta atau emansipasi masyarakat, sehingga kelak dicapai desa yang demokratis, mandiri, sejahtera dan berkelanjutan. Salah satu komponen tugasnya yaitu memberikan asistensi pengetahuan hingga keterampilan teknis pada desa dalam pengelolaan Dana Desa (DD), sehingga perputaran DD di desa membawa berkah

Memadat karyatunaikan Dana Desa

Memadat karyatunaikan Dana Desa
Kebijakan padat karya tunai di satu sisi memang memantik kontroversi, karena lahir di tengah tahun perencanaan dan penganggaran desa 2018 yang telah usai. Diakui, sebagian desa mengalami kesulitan untuk merestrukturisasn APBDesa agar sesuai dengan harapan Presiden. Meski demikian, kebijakan ini perlu ditempat secara positif sebagai trigger bagi Desa agar memiliki kepekaan keberpihakan pada masyarakat desa yang lemah dari segi akses terhadap sumber penerimaan rumah tangga. Nah, Dana Desa pada hakikatnya adalah sumber potensial penerimaan rumah tangga desa. 

Bila pengelolaannya kurang memerhatikan keterlibatan masyarakat yang lemah, maka warga desa semakin potensial terselubungi oleh ancaman kemiskinan, stunting, gizi buruk dan gizi kurang pada balita dan pengangguran. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian Presiden menitahkan sejumlah kementerian, termasuk Kemendesa PDTT untuk merancang dan melaksanakan program padat karya tunai Dana Desa. Titah tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama empat Menteri (Kemendesa PDTT, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemendagri dan Kementerian Bappenas)Dalam SKB ini, 

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melakukan: 1. penguatan pendamping profesional untuk: a. mengawal pelaksanaan padat karya tunai di desa; dan b. berkoordinasi dengan pendamping lainnya dalam program pengentasan kemiskinan. 2. refocusing penggunaan Dana Desa pada 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) jenis kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Desa, melalui koordinasi dengan kementerian terkait; 3. fasilitasi penggunaan Dana Desa untuk kegiatan pembangunan desa paling sedikit 30% (tiga puluh persen) wajib digunakan untuk membayar upah masyarakat dalam rangka menciptakan lapangan kerja di Desa; 4. upah kerja dibayar secara harian atau mingguan dalam pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan Dana Desa; dan 5. fasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan yang didanai dari Dana Desa dengan mekanisme swakelola dan diupayakan tidak dikerjakan pada saat musim panen.

tradisi dalam konsep demokrasi desa

Perpaduan beberapa tradisi dalam konsep demokrasi desa yang terkandung dalam UU Desa 
setidaknya memberi pelajaran bahwa sikap romantisasi bukanlah pilihan yang tepat dalam memaknai demokrasi desa. Desa-desa memang kaya dengan tradisi yang kepadanya mungkin bisa disematkan sebagai demokrasi desa. Tetapi sikap romatisme hanya akan menjebak pada sikap ekslusif yang berakibat pada kesulitan dalam membingkai konsep demokrasi desa dalam kerangka institusional hubungan desa dan negara. 

Pada titik ini maka yang tepenting adalah mendialogkan prinsip demokrasi desa dengan konsep demokrasi dalam tradisi negera modern. Romantisasi dimaksud misalnya orang selalu mengatakan: “kalau mau lihat demokrasi yang sejatai datanglah ke nagarai”, atau kata-kata “kalau bicara dmokrasi di Indonesia, mari kita lihat ke desa. Di sanalah demokrasi masih hidup”, dan beberapa perkataan sejenis. Beberap indikator pun kemudian dimunculkan. 

Mulai dari pemilihan kepala desa secara langsung, forum-forum warga yang sudah hidup puluhan tahun, tradisi gotong royong, hidup saling menghormati, adanya rembug desa, dan tradisi-tradisi lain yang telah mengakar kuat di desa. Klaim-klaim romantisme semacam itu sesungguhnya tidak masalah dan sah-sah saja. Tetapi menjadi berbahaya ketika hal tersebut dilihat sebagai demokrasi yang absolut, tanpa kritik, yang pasti benarnya, dan bahwa seolah-olah adat istiadat dan tradisi yang ada desa-desa semuanya berlangsung dan berjalan linier. 

Dalam kaitanya dengan konsep demokrasi modern, maka sesunggunya yang penting adalah mendialogkan antara tradisi yang sudah berlangsung di desa dan menjadi warisan budaya tersebut dengan konsep yang dimiliki negara. Dialektika itu yang diharapkan mampu memunculkan pelembagaan demokrasi desa secara institusional melalui prinsip-prinsip demokrasi. Di Indonesia, gagasan tentang demokrasi desa memang memilik akar sejarah yang panjang. Cita-cita persaudaraan dalam kesederajataan kewargaan ini memiliki akar yang kuat dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia. 

Secara historis sosiologis, kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan Nusantara yang menjadi tempat persilangan antarbudaya. Tradisi musyawarah dalam semangat kekeluargaan telah lama bersemi dalam masyarakat desa di Nusantara. Perjuangan kemerdekaan Indonesia juga memberi pengalaman bagi para pelopor kebangsaan dari berbagai latar budaya untuk menjalin kerjasama (Latif, 2015; 385). Modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut itulah yang akhirnya memunculkan harapan dan cita-cita memiliki sebuah bentuk demokrasi yang tepat dan selaras dengan karakter dan cita-cita kemerdekaan bangsa. Karena itu Hatta pernah mengatakan bahwa negara harus berbentuk republic dan berdasarkan kedaulatan rakyat. Tetapi Hatta menggaris bawahi bahwa kedaulatan rakyat yang dicitacitakan berbeda dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualis. 

Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia haruslah berakar dalalm pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia menurut Hatta harus pula merupakan demokrasi Indonesia yang “asli” (Hatta, 1992, dalam Latif, 2015; 386). Menurut Hatta, demokrasi tidak bisa dilenyapkan dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia. Hatta menilai bahwa demokrasi yang ada di Indonesia sudah tumbuh dan berkembang sesuai tradisi yang dalam masyarakat sehingga ia tak akan pernh mati. Demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat itulah yang akan terus hidup.Dalam pandangan Hatta setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi di Indonesia. 

Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawartan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang dalam sejarah pergerakan Indonesia menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992, dalam Latif, 2015; 386).

Pengetahuan dan Inovasi Desa

Pengetahuan dan Inovasi Desa 
Sebelum lebih jauh memahami tentang ukuran inovasi desa dalam perspektif PID, kita perlu memahami bahwa perubahan yang telah, sedang atau akan terjadi pada desa pada hakikatnya mengandung pengetahuan. Baik dan buruk perubahan tersebut tetap menawarkan sebuah pengetahuan, tentu bagi yang mau meresponnya, apalagi bila direspon secara filsafati. Meski demikian, meminjam pembagian tipologi orang tahu menurut Jujun Soemantri, belum tentu orang tahu juga tahu pada apa yang diketahuinya. Demikian pula orang yang tidak tahu, boleh jadi benar-benar tidak tahu di tahunya. 

Termasuk pula orang tidak tahu di tidak tahunya serta orang yang benar-benar tahu di tahunya. Artinya penguasaan seseorang atas suatu pengetahuan sungguh relatif. Boleh jadi, kita menyimpulkan bahwa kemajuan Desa Ponggok di Klaten karena keberhasilan kepala desanya mengelola BUMDesa. Tapi bagi orang lain, berpendapat beda, melainkan karena ada partisipasi masyarakat dan ketersediaan sumber daya alam yang tak dimiliki desa lain. 

Demikian pula dengan klaim kita terhadadp suatu karya yang inovatif, ataupun penyimpulan desa inovatif. Mungkin kita akan bertanya, “apa yang inovatif?”,”dimana sisi inovatifnya?”. Meskipun antara Desa Bejiharjo di kecamatan Karangmojo Kabupaten Gunungkidul dan Desa Jatijajar di Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen samasama mengelola goa sebagai destinasi wisata. Tapi sisi inovasi atas pengelolaan destinasi wisata menurut satu orang dengan orang lainnya bisa berbeda sudut pandang. Jumlah pengunjung goa pindul yang konon bisa mencapai ribuan dalam satu hari ternyata tidak dikelola oleh kelembagaan ekonomi desa bernama BUMDesa. 

Kalau tidak salah oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Tapi goa barat di Desa Jatijajar, walaupun jumlah pengunjungnya jauh lebih sedikit (berkisar puluhan s/d seratusan orang dalam sehari) malah dikelola oleh BUMDesa. Tapi kedua sama-sama menunjukkan sisi perkembangan yang baik, apalagi dampaknya terhadap peningkatan ekonomi warga. Terhadap perbedaan institusi pengelola destinasi wisata pada dua desa di atass, tentu akan dipersepsi yang berbeda. 

Dari sisi ketepatan pilihan lembaga pengelola misalnya, belum tentu penerapan BUMDesa di Desa Bejiharjo bisa berjalan baik tinimbang Desa Jatijajar. Pilihan tersebut tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang satu sama lain berbeda. Karena itu, dalam sudut pandang ini, boleh jadi pengelolaan destinasi wisata goa Pindul di Desa Bejiharjo adalah sesuatu yang inovatif. Terlebih ia muncul di saat, pokdarwispokdarwis di desa lain yang sudah ada belum melakukan sesuatu gerakan seperti yang sudah dilakukan Pokdarwis Bejiharjo.

Pemetaan Data Induk

Pemetaan Data Induk 
Puluhan ribu pendamping yang ditempatkan sesuai lokasi tugas masing masing telah bekerja sesuai dengan Standar Prosedur yang telah ditentukan, dengan latar belakang keilmuan, pengalaman dan profesi yang berbeda-beda mempengaruhi kondisi heterogenitas para pendamping pemberdayaan dilapangan. Memaknai pendampingan tidak hanya sebatas idoologi   pemberdayaan menuju cita- cita masyarakat yang mandiri dan sejahtera, pendampingan tidak diterjemahkan sebagai sebuah pengabdian kepada masyarakat saja tetapi menjadi alat hitung kebutuhan yang dibandingkan dengan profesi lain, perspektif pendamping terhadap kesejahteraan seorang pendamping sendiri menerjemahkan pendamping sebagai profesi yang memiliki nilai tawar dan harus dikompromikan.

Hal ini mengakibatkan tidak sedikit  pendamping menerima atau  melamar  pekerjaan lain yang dianggap lebih menjamin kesejahteraan mereka, banyak pendamping yang melayangkan  protes atas salary mereka yang dianggap minim, terutama bagi pendamping Lokal Desa (PLD) karena beban kerja yang harus bertanggung jawab terhadap tiga sampai  empat desa rata-rata. Kesejahteraan pendamping sesuai beban kerja dikarenakan kondisi geografis di beberapa wilayah wilayah ditempatkan ditempat yang ekstrim seperti yang dirasakan dari wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua. Adanya pendamping yang diangkat sebagai pejabat public, serta di PHK karena melakukan pelanggaran. 

Hal tersebut menjadi indicator penyebab kekosongan kuota kebutuhan yang sebelumnya sudah terisi. sehingga dalam rangka pemenuhan data pendamping sebagai alat control kinerja pendamping maka dilakukan identifikasi kebutuhan Pendamping Profesional dengan melakukan pemetaan (mapping) atau yang kita sebut data induk yang setiap bulannya diupdate oleh Satker P3MD melalui Satker P3MD provinsi bersama dengan Koordinator Program Propinsi. Data induk ini juga menjadi acuan dalam melakukan pemetaan relokasi dan pemetaan Pendamping baru yang digunakan sebelum rekrutmen. 

Di dalam data induk induk yang dimaksud memuat nama,kontak, media social, lokasi tugas dan jumlah seluruh pendamping masing-masing posisi (PLD,PD dan TAPM) baik yang aktif maupun  non aktif di 33 Provinsi berserta rekapanya. Berdasarkan hasil pemetaan data induk yang diupdate pada bulan agustus 2019 total tenaga Pendamping Profesioanal TPP berjumlah 36.788 orang yang terdiri dari 28.305 orang laki-laki dan 8.483 orang perempuan. 

Portofolio Demokratisasi Desa

Portofolio Demokratisasi Desa 
Harus diakui, lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 telah membawa perspektif baru  dalam pengelolaan desa dalam seluruh aspeknya. Paling tidak, UU Desa telah merubah cara pandang kita semua terhadap desa. Cara pandang yang setidaknya menempatkan desa sebagai entitas yang harus diperhitungkan dalam diskursus dan perbincangan negara-masyarakat yang selama ini cenderung meminggirkan desa. UU Desa dalam konteks ini telah mampu meletakkan fondasi dalam pengertian yang sesungguhnya tentang makna dan spirit demokrasi sosial, demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi. 

Spirit demokrasi sosial ditunjukkan dengan keberadaan desa sebagai representasi negara yang hadir mengatur dan melayani masyarat. Semangat gotong-royong yang hidup dan berkembang di masyarakat menjadi salah satu elemen penting dalam demokrasi lokal. Sementara nilai-nilai demokrasi politik bisa direpresentasikan melalui kepemimpinan kepala desa yan memiliki legitimasi yan mengakar, penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, kontrol BPD, serta musyawarah desa. Sementara demokrasi ekonomi bisa dilihat denga kehadiran desa dalam mengkonsolidasikan asset-aset ekonomi desa serta pasrtisipasi masyarakat dalam keggaiatan ekonomi desa (Eko, 2017). Merefleksikan hal di atas, pertanyaan filosofis yang sesungguhnya penting untuk digali adalah portofolio demokratisasi seperti apakah yang tepat untuk dikembangkan sebagai kerangka kerja demokrasi desa. Perspektif ini penting untuk dielaborasi untuk menemukan perspektif baru dalam memaknai konsep demokratisasi di desa. 

Dalam diskursus tentang demokrasi, terdapat setidaknya dua aspek utama dalam konsep formal demokrasi. Pertama, kesetaraan politik warga negara. Kedua, gagasan pemerintahan yang baik (good government). Berangkat dari konsepsi ini maka sebuah kesadaran teoritik juga harus dikembangkan dengan baik terutama terhadap munculnya lembaga-lembaga demokrasi yang dibentuk berdasarkan ekspresi kesataraan politik warga negara (Regus, 2015). 

Kesetaraan politik dalam kaitannya dengan argumentasi ini tidak hanya sebatas kesamaan kesempatan dan ruang ekspresi pemilihan politik pada saat pemilihan umum saja tetapi bagaimana warga negara mendapatkan perlindungan politik sebagai mekanisme utama yang dikembangkan negara demokrtaik. Karean itu hal yang penting digarisbawahi bahwa demokrasi tidak hanya berhubungan dengan kesetaraan ekspresi sosial politik melainkan juga hak setiap warga negara mendapatkan pelayanan pemerintahan yang dipilih secara demokratik. F. Von Hayek (1960) melihat bahwa gagasan tentang demokrasi telah mendorong terjadinya proses politik yang membawa warga negara ke tahap keadaban politik dengan mengawal penciptaan putusan-putusan politik yang penting yang dilakukan oleh pemerintah (negara). 

Warga negara harus mengolah opini publik untuk menjadi bagian penting dari kebijakan politik pemerintah. Warga negara harus mendorong tumbuhnnya suasana politik yang semakin baik sementara pemerintah mengalokasikan perhatian politik kepada rakyat dalam jumlah yang lebih besar ketimbang mengurus kepentingan-kepentingan spasial semata. Dalam diskursus demokrasi ini, konsep utama yang harus dipegangi bahwa apapun model dan bentuknya dan pada lokus mana ia beroperasi, demokrasi harus mampu menjamin terselenggaranya mekanisme politik yang adil untuk setiap warga. 

Negara dalam hal ini bahkan harus menunjukkan perlindungan politik yang lebih besar dalam skala perhatian terhadap kelompok-kelompok social yang secara politik tidak berdaya. Pemenuhan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi akan menumbuhkan kewarganegaraan yang beradab.  Jika argumentasi sebagaimana di atas yang dibangun, pertanyaanya kemudian adalah, apa standar yang ideal yang sesuai dengan konsep demokrasi? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum lebih jauh masuk pada elaborasi tentang demokrasi pada tingkat desa. Robert Dahl sebagaimana dikutip F. Von Hayek (1960) menyarankan beberapa standar ideal sebagai komitmen normative inti dari demokrasi, yakni partisipasi efektif masyarakat, kesetaraan politik, perlindungan politik, serta mekanisme control terhadap kekuasaan. 

Dahl dalam hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa demokrasi harus dipahami dalam hal agregasi kepentingan semua elemen demokrasi, terutama kepentingan-kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu prinsip-prinsip semacam partisipasi, transparansi, akuntabilitas, responsiveness, consensus oriented, equity and inclusiveness, serta efisiensi menjadi keniscayaan dan harus menjadi bagian yang inhern dalam mengembangkan prinsip-prinsip berdemokrasi

Niat Baik Tim Pemberdayaaan masyarakat

Niat Baik Tim Pemberdayaaan masyarakat
Silih bergantinya program pemberdayaan pada dasarnya menunjukan perkembangan pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan berkaitan dengan proses produksi pengetahuan. Dalam istilah Foucault proses perkembangan pengetahuan tersebut disebut episteme. Sebagai episteme program pendampingan desa adalah bagain dari skenario pembangunan mendispilinkan. 

Perpindahan zonasi atau garis orbit pengambilan peran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang tertampil dari garis nasib kedua pendamping desa dapat dikatakan mendisrupsi tradisi pemberdaya yang sebagian besar lebih senang berada dalam zonasi karier sebagai fasilitator ataupun pendamping desa. Sebagaimana kita tahu, dalam kerja-kerja fasilitator atau pendamping desa juga dilengkapi dengan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan logical framework sebagaimana tertuang dalam apa yang disebut Petunjuk Teknis Operasional (PTO). 

Di sini, secara tidak langsung membatasi pendamping yang bersangkutan untuk berkreasi dan berinovasi di luar PTO. Karenanya, jika dilihat dari kacamatan governmentality Foucault tadi, walaupun di dadanya tersemat pekerja sosial, sesungguhnya dalam praktik kerja-kerja sosialnya tetap didominasi oleh nalar dan tindakan mekanis. Pertanyaannya, kemudian sejauh mana PTO yang dijadikan panduan gerakan pemberdayaan sosial yang diperankan pendamping desa mampu menghadirkan kemanfaatan Dana Desa yang benar-benar dirasakan masyarakat, atau mewujudkan kemanfaatan UU Desa dalam spektrum yang lebih luas. 

Dalam suatu kesempatan pelatihan untuk pelatih penguatan kapasitas PLD di Jakarta, Dirjend Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendesa PDTT, Samsul Widodo berulang kali menyindir dan mengingatkan kalau para pendamping terlalu lama baca PTO, sehingga tak kuasa berfikir out of the box dari PTO. Sebagai ASN yang sejak awal bergelut dengan urusan program pemberdayaan, yang kala itu membidani lahirnya IDT, PPK, P3DT hingga PNPM, dalam kesempatan tersebut, Samsul Widodo mengingatkan bahwa PTO pada dasarnya hanyalah instrumen, di mana pada saat kali dibuat, PTO tidak disandarkan pada aturan hukum tertentu. Baginya, ketika PTO mengkerangkeng daya kreativitas pendamping desa, maka akan tertinggal dari perubahan dunia yang bergerak sangat cepat. Ia menyontohkan, besarnya anggaran Dana Desa yang diterima oleh desa belum dibarengi dengan daya cipta program pembangunan yang kreatif, hanya karena terlalu kaku menerjemahkan tradisi penganggaran. 

Dicontohkannya, pembangunan pasar desa atau BUMDesa sebenarnya dalam satu kali tahun anggaran dapat diwujudkan dalam disain semegah mall atau supermarket. Tapi karena pola pikir para perencana yang memilih cara penganggaran multi year, maka harapan memiliki bangunan pasar atau BUMDesa berkualitas modern tak pernah tercapai dalam satu tahun anggaran.  

Dalam konteks status quo pemakaian model aturan hukum penganggaran dan belanja multi year ini, sebenarnya dengan kewenangannya, desa dapat mendisrupsinya dengan mengambil kebijakan, meminjam bank. Lalu angsurannya dapat dilakukan setiap tahun anggaran sesuai dengan kesepakatan antara Pemdes dengan pihak Bank.  

Musyawarah Desa; Deliberasi Demokrasi Desa

Musyawarah Desa; Deliberasi Demokrasi Desa 
Seperti pernah ditulis oleh Tan Malaka dan juga Hatt bahwa prinsip musyawarah desa sesungguhnya telah lahir dan mengakar kuat pada masyarakat desa di Bumi Nusantara.  Musyawarah desa (selanjutnya disingkat Musdes) merupakan institusi dan proses demokrasi deliberatif yang berbasis desa. Salah satu model musyawarah desa yang telah lama hidup dan dikenal di tengah-tengah masyarakat desa adalah Rapat Desa (rembug Desa) yang ada di Jawa. 

Dalam tradisi rapat desa selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan setiap aspirasi dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat terakomodasi dan sedapat mungkin dapat dihindari munculnya riak-riak konflik di masyarakat. Selain model rapat desa ada bentuk musyawarah daerahdaerah lain seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri di Maluku, Gawe rapah di Lombok, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali. Namun tradisi Musdes  masa lalu cenderung elitis, bias gender dan tidak melibatkan kaum miskin. Kelahiran musyawarah desa dalam UU No. 6/2014 tentang desa berangkat dari kritik terhadap model Musdes masa lalu. 

Poin utama yang harus ditegaskan bahwa desa sebagai self governing community direpresentasikan oleh Musyawarah Desa. Pada posisi ini, jika dihadapkan pada teori demokrasi, Musdes  mempunyai empat makna demokrasi. Pertama, Musdes sebagai wadah demokrasi asosiatif. Artinya seluruh elemen desa merupakan asosiasi yang berdasar pada asas kebersamaan, kekeluargaan dan gotongroyong. Mereka membangun aksi kolektif untuk kepentingan desa. Kekuatan asosiatif ini juga bisa hadir sebagai masyarakat sipil yang berhadapan dengan negara dan modal. 

Kedua, Musdes sebagai wadah demokrasi inklusif atau demokrasi untuk semua. Berbagai elemen desa tanpa membedakan agama, suku, aliran, golongan, kelompok maupun kelas duduk bersama dalam Musdes. Ketiga, Musdes sebagai wadah demokrasi deliberatif. Artinya Musdes menjadi tempat untuk tukar informasi, komunikasi, diskusi atau musyawarah untuk mufakat mencari kebaikan bersama. Keempat, Musdes mempunyai fungsi demokrasi protektif. 

Artinya Musdes membentengi atau melindungi desa dari intervensi negara, modal atau pihak lain yang merugikan desa dan masyarakat. Sebagai contoh, investasi yang masuk desa – terutama investasi yang berpotensi berdampak sosial dan lingkungan secara serius – harus diputuskan oleh Musdes (Eko, 2015; 192-194).