Sabtu, 01 Februari 2020

konsep demokrasi desa

seperti pernah ditulis Soetardjo Kartohadikoesoemo (1956) misalnya tata krama, tata susila (etika) dan tata cara (aturan main) atau rule of law. Jika kita cermati, tata krama dan tata susila adalah bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleransi, penghormatan terhadap sesama, kesantunan, kebersamaan, dan lain-lain. Semenetara tata cara (rule of law) adalah sebuah mekanisme atau aturan main untuk mengelola pemerintahan, hukum waris, perkawinan, pertanian, pengairan, pembagian tanah, dan lainlain. 

Dalam konteks tatacara pemerintahan, desa zaman dulu sudah memiliki pembagian kekuasaan ala Trias Politica yang terdiri dari eksekutif (pemerintah desa), legislatif (rembug desa) dan yudikatif (dewan morokaki). Di luar tiga tata di atas, ada juga yang disebut dengan rembug desa, yang dalam konsep demokrasi saat ini disebut dengan musyawarah desa (musdes). Jika kita melihat dan meletakkanya dalam konsep demokrasi modern maka rembug desa atau rapat desa merupakan sebuah wadah demokrasi deliberatif (permusyawaratan) desa, yang memegang kedaulatan tertinggi di atas kedudukan lurah (eksekutif), meski lurah adalah ketua rembug desa. 

Rembug desa, yang mewadahi lurah dan perangkatnya, para tetua desa, tokoh masyarakat dan seluruh kepala keluarga, menjadi tempat bagi rakyat desa membuat keputusan secara langsung. Dalam perjalannya, beberapa kontrakdiksi-kontradiksi kecil kadang muncul dan menjadi kelemahan dalam model demokrasi desa secamam ini. Pertama, seringkali proses deliberasi cenderung didominasi oleh para tetua desa, yang kurang mengakomodasi warga yang muda usia. Dengan kata lain, ketergantungan warga masyarakat terhadap tetua desa sangat tinggi. 

Kedua, rembug desa adalah wadah kepala keluarga yang kesemuanya kaum laki-laki, sehingga tidak mengakomodasi aspirasi kaum perempuan. Namun demikian, bukan berarti keberadaan demokrasi desa berlangsung tanpa kritik. Beberapa kritik terhadap model demokrasi desa juga banyak menjadi sorotan. Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto (1983) misalnya dengan cermat menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970an. Dalam studinya keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup yakni gotong royong dan musyawarah. 

Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosialekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya. Keberadaan Kades saat ini lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. 

Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi kemerdekaan, konflik mengenai land reform,  meluasnya pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa (Eko, 2017). Catatan penting yang harus menjadi penegasan adalah bahwa modelmodel demokrasi desa seperti di atas, yang sudah mengakar kuat dan tertancap kuat menjadi tradisi akhirnya penting untuk didialektikan dengan negara untuk memberikan kerangka institusional guna melembagakan demokrasi desa. 

Dan seperti telah disinggung di atas, UU Desa memberikan kerangka itu dalam konteks kebijakan dan regulasi. Beberapa aspek yang bisa diliat misalnya mulai dari aspek kepemimpinan, akuntabilitas, partisipasi, deliberasi, representasi dan sebagainya. Terdapat banyak aspek dalam praktik berdemokrasi di desa. Tetapi secara keseluruhan ada beberapa hal yang penting mendapat perhatian dan menjadi penanda perjalanan kemajuan demokratisasi di desa. Beberapa aspek dalam demokratisasi desa seperti dikemukan Sutoro Eko, M. Barori, dan Hastowiyono (2017) berikut ini akan menjadi contoh bagaimana dialektika dibangun sambil memberi perspektif baru. Harapanya, beberapa aspek yang sudah berlangsung dalam pemerintahan desa tersebut akan menciptakan bukan hanya institusionalisasi demokrasi desa dalam konteks good governance, tetapi menuju pada apa yang disebut dynamic governance-sebuah prinsip lanjutan good governance yang ditawarkan Neo Boon Siong dkk. (2015). Beberapa aspek demokrasi di desa tersebut adalah Kepemimpinan Kepala Desa, Kontrol dan Akuntabilitas, Musyawarah Desa, serta Representasi dan Partisipasi. 

Tidak ada komentar: