Sabtu, 01 Februari 2020

Demokrasi Desa dan Upaya Mengatasi Dilema

Demokrasi Desa dan Upaya Mengatasi Dilema; Melampaui Good Governance 
Konsep ideal demokrasi sebagaimana di atas menjadi manarik ketika ditarik pada tataran praksis dalam pengalaman empirik di lapangan, yakni desa. Dalam lokus yang paling bawah dalam tata pemerintahan ini, seperti apakah wujud demokrasi yang berjalan? Sutoro Eko (2015) melihat bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk dijernihkan ketika kita hendak berbicara tentang demokrasi desa. 

Membicarakan tentang demokrasi desa ia tak dapat dipisahkan dengan otonomi desa. Dalam demokrasi desa, setiap warga desa mempunyai hak menyentuh, membicarakan bahkan memiliki setiap barang maupun proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Desa dengan demikian tidak boleh secara kosmologis dikungkung sebagai institusi parokhial (agama mupun kekerabatan) maupun institusi asli (adat), tetapi juga harus berkembang maju sebagai institusi dan arena publik. Sebagai contoh, meskipun ada desa adat mempunyai karakter monarkhi, tetapi dia juga harus menjalakan spirit dan institusi republik seperti fungsi permusyawaratan, musyawarah desa, mengelola barangbarang publik dan melakukan pelayanan publik. Sebagai republik, desa tidak hanya membicarakan dan mengelola isu-isu agama, kekerabatan dan adat, melainkan juga mengurus isu-isu publik seperti sanitasi, air bersih, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain-lain. 

Dari situlah maka dalam konteks demokrasi desa menjadi penting mementukan mekanisme politik yang tepat guna mendorong terjadinya sinergi kepentingan demokratik menjadi bagian pengalaman publik. Model seperti musyawarah desa sesungguhnya bisa dikembangkan menjadi sebuah mekanisme politik yang tepat dalam masyarakat desa. Dalam mekanisme politik tersebut warga negara (baca: masyarakat desa) bisa mendapatkan ruang untuk membangun asosiasi sukarela yang berkualitas dalam kerangka memperkuat partisipasi politik yang lebih bermakna (Shair-Rosenfield, Marks et.al. 2014). 

Dalam mekanisme politik di desa seperti musyawarah desa misalnya, keputusan kolektif warga akan menjadi alasan paling kuat untuk mendorong pemerintahan demoktratik pada jenjang yang lebih tinggi mengerjakan kebijakankebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Sampai di sini kita sampai pada sebuah kesepakatan bahwa spirit dan institusi desa itu harus dikelola dengan demokrasi. Pertanyaan lanjutannya adalah demokrasi macam apa? Sejalan dengan apa yang dikemukakan Sutoro Eko dalam buku Regulasi Baru Desa Baru (2015) bahwa seyogyanya kita menghindari terhadap klaim-klaim romantisme tentang demokrasi desa. Pasca desentralisasi, klaim-klaim semacam itu memang banyak bermunculan ketika berbicara tentang desa. Contoh akan keterjebakan kita pada klaim romantisasi tersebut misalnya orang Minang biasa bicara: “Kalau mau melihat demokrasi yang sejati, datanglah ke nagari, lihatlah Kerapatan Adat Nagari”. Di tempat lain, seorang aktivis juga mengklaim dengan mengatakan “kalau bicara demokrasi di Indonesia, mari kita lihat ke desa. 

Lalu dideretkannyalah sejumlah indikator pembukti demokrasi desa: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis, terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, warga masyarakat yang saling hidup damai berdampingan dan inklusif, dan sekarang tumbuh BPD yang dipilih secara demokratis. Model-model demokrasi seperti di atas memang sudah tumbuh di desa-desa di Indonesia dan merupakan kenyataan sejarah. Ia adalah khazanah bangsa yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat desa itu sendiri. Yang terpenting dari sekedar klaim romantisasi adalah melihatnya dengan kaca mata kritis sekaligus memberi keyakinan bahwa model-model demokrasi yang berlangsung di desa dan sudah ada sejak republik ini lahir tersebut harus diberi makna melalui kerangka institusional. 

Misalnya mulai dari aspek kepemimpinan, akuntabilitas, partisipasi, deliberasi, representasi dan sebagainya. Institusionalisasi dan pendalaman demokrasi desa, meminjam bahasa Sutoro Eko, membutuhkan pembelajaran, pendampingan, pengorganisasian, gerakan, kaderisasi dan seterusnya

Tidak ada komentar: