Kamis, 14 April 2011

jiwa kepemimpinan


Secara sederhana pemimpin sejati adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan menjelajahi hati pengikutnya. Hal itu ditandai dari kepemimpinannya yang apabila makin menempati posisi-posisi tinggi, maka semakin tinggi pula kearifannya.

Pemimpin semacam ini akan mampu membangkitkan kesadaran orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga dengan kepemimpinannya akan membuat mau orang-orang yang dipimpinnya.

Kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggunganjawaban. Penguasa adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin (rumah tangga suaminya), maka akan dimintai pertanggungjawabannya. Pelayan adalah pemimpin (atas harta tuannya), maka akan dimintai pertanggungjawaban atas pengelolaannya. Oleh karena kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari-Muslim)

Adapun untuk memahami ini perlu diyakini bahwa bakat kepemimpinan itu sebenarnya tidak dilahirkan. Bakat tersebut muncul melalui keterampilan yang terus diasah dan ditumbuhkembangkan. Memang ada pemimpin yang hanya fasih berbicara. Namun sebelumnya, kalau ia tidak memiliki ilmu, ia tidak sering berlatih, maka bisa jadi kata-katanya terpeleset pada kesalahan. Begitu juga kalau ada seorang pemimpin yang berani. Kalau tidak sering-sering dilatih, maka keberaniannya suatu saat akan banyak berbuah kezaliman.

Di sini timbul pertanyaan, apa yang membedakan seorang pemimpin dengan manajer? Jawabannya adalah, pemimpin atau leader adalan orang yang bisa membangun semangat serta menumbuhkan ide dan gagasan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Jadi, selain bekerja, pemimpin itu memiliki kemampuan menjadikan orang-orangnya kaya akan ide-ide segar.

Seorang pemimpin mampu menyuruh karyawannya dengan menerapkan ide-ide orisinal yang ia telurkan, sehingga si karyawan yang disuruhnya tidak merasa disuruh. Sebaliknya, seorang manajer hanya berkemampuan mengarankan karyawan untuk bekerja dan menyelesaikan tugasnya dengan lebin baik.

Oleh sebab itu, untuk tampil menjadi seorang pemimpin, kita perlu mempunyai kesempatan menafakuri lingkungan sekitar. Pertama-tama, perlu membaca potensi diri. Setelah potensi diri dapat terbaca, baru meluaskan pengaruh dengan melihat potensi diluar diri.

Jika saat ini kita disanjung banyak orang, dipuji banyak khalayak, pada dasarnya itu bukan karena kecerdasan kita, juga bukan karena gelar kita. Demi Allah! itu terjadi karena Allah sendiri yang menutupi aib kita, kekurangan kita. Kalau kemudian itu dibeberkan oleh-Nya, apa jadinya diri kita ini. Mudah-mudahan solusi pertama ini menjadi kesadaran global.

Yang kedua. Sudah saatnya, program “bening hati” ini disosialisasikan pada semua pihak. Tentunya dikerjakan secara sistematis berkesinambungan. Agar semua pihak punya pemahaman bahwa kebahagiaan hidup, kesuksesan hidup itu sebenarnya didirikan diatas fondasi kemuliaan akhlak. Sebab, kemuliaan itu bukan dilihat dari kehormatan orangnya, bukan dari kedudukannya atau hartanya yang banyak, tetapi dari kualitas akhlak orangnya. Nah, kalau program ini telah membudaya, bisa membuat semua orang lebih berpikir ke arah hakikat hidup yang sebenarnya, yang pada intinya berangkat dari kebeningan hati.

Jika yang pertama adalah contoh keteladanan dan yang kedua adalah pembinaan yang sistematis dan berkesinambungan. Maka yang ketiganya, semua itu harus dipelihara dengan sistem yang kondusif. Di mana sistem ini dibangun oleh orang-orang yang telah memperhatikan hatinya. Hasilnya akan terlihat dari produk yang mereka hasilkan. Misalnya, perundangan-undangan atau peraturan yang mereka keluarkan justru membuat keadilan makin tegak. Orang enggan untuk berbuat buruk karena adilnya peraturan yang dibuat oleh orang-orang yang memiliki keteladanan perilaku yang tinggi yaitu kemuliaan akhlak. Disini keadilan tegak tanpa kebencian.

Yang Terakhir, yang patut benar-benar kita perhatikan sesudah ketiganya terpenuhi adalah membangun dengan “kekuatan ruhiyah.” Sebab dengan kekuatan ini kita punya sandaran yang teguh, kokoh dan Maha Kuat, Yaitu Allah SWT. Kita ini, Laa hawla wa laa quwwata ilia billah. Kekuatan untuk membangun ada pada kekuatan yang dititipkan Allah pada kita. Untuk itu, setiap ada Kesulitan sekecil apa pun, atau sebesar apapun, akan ringan kalau dikembalikan pada-Nya.

Dengan begitu, mudah-mudahan kita akan dibimbing-Nya untuk tahu bagaimana mendaya-gunakan amanah yang ada. Semoga kita dapat membangun kebersamaan yang menumbuhkan “kekuatan ruhiyah” tersebut. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: