Minggu, 17 April 2011

tentang kepemimpinan


Kepemimpinan sebuah tugas maha berat yang dibebankan kepada manusia selaku hamba Allah Swt di muka bumi. Dalam Al-Quran diberikan gambaran tentang bagaimana gunung-gunung menolak untuk diberikan amanah, akan tetapi manusia bersedia memikulnya. Maka ada dua tugas manusia yang harus ditunaikan yakni sebagai hamba yang mengabdi dan menyembah penciptanya dan juga sebagai khalifah/pemimpin dalam membawa bumi dan segala isinya menjadi maslahat untuk manusia.

Dalam skala kepemimpinan didapatkan banyak varian, dimulai dari memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, memimpin masyarakat dalam skala kecil menegah maupun besar berupa sebuah bangsa atau Negara.

Memimpin diri sendiri adalah proses awal dan paling fundamental dalam membentuk karakter seseorang sehingga mampu dilihat dan ditiru sebagai contoh yang baik bagi orang lain. Maka meningkatkan kapasitas kepemimpinan diri penting adanya. Bagaimana bentuk memimpin diri sendiri itu ditentukan oleh sejauh mana seseorang memberikan kesempatan pada dirinya untuk menambah pengetahuan di setiap waktu, yakni belajar sepanjang kehidupannya.

Ayat pertama yang turun pun memberikan rekomendasi agung tentang bagaimana belajar dipahami dalam perintah iqra,membaca. Membaca adalah sebuah proses memaksimalkan seluruh potensi yang melekat pada diri seseorang untuk mengetahui dan mengembangkan apa yang diperolehnya itu untuk kehidupannya yang lebih baik. Membaca dengan mata adalah melihat, membaca dengan telinga adalah mendengar, membaca dengan akal adalah berpikir, dan seterusnya.

Manusia dibekali dengan dua kecenderungan, pertama kecenderungan kepada kebaikan dan kedua kecenderungan kepada keburukan, Memimpin diri sendiri membutuhkan energy besar dan mereka yang mampu menaklukkan kecenderungan atau potensi kepada keburukan adalah pemenang sementara dalam kehidupan dunia, karena proses akhir dari semuanya ada pada kehidupan setelah kematian.

Memimpin keluarga adalah bagian yang tidak terpisahkan dari memimpin diri sendiri, karena keluarga adalah sekolah peradaban manusia dimana disanalah dibentuk paradigma dan konsep diri seseorang. Keluarga adalah tempat disemainya potensi dasar manusia untuk menjadi baik atau buruk, diperlukan orang-orang yang memiliki kualitas kepemimpinan diri sendiri yang baik untuk menghasilkan kualitas kepemimpinan keluarga yang baik pula. Tetapi jangan sampai kita terjebak pada parameter parsial dalam memandang / menilai kepemimpinan terhadap keluarga. 

Sementara orang ada yang menganggap keberhasilan dalam kepemimpinan keluarga ada pada bagaimana ia memberikan kebutuhan material dan pendidikan yang cukup bagi keluarganya, tanpa melihat aspek nilai yang lebih spiritual sebagai indikator penting bagi keberhasilan hidup keluarganya di masa mendatang.

Jamak kita lihat orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah dan menyerahkan sepenuhnya untuk dididik, rumah seolah-olah hanya berfungsi sebagai tempat istirahat dikala lelah fisik mendera. Padahal peran orang tua di rumah sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak secara psikologis dan emosional. Sehingga tidak mengeherankan anak akan mencari saluran emosionalnya di luar; kepada teman-temannya maupun lingkungan di luar sekolah yang relatif labil bagi perkembangan jiwa dan perilakunya. 

Padahal jauh dari nurani dasar anak membutuhkan teladan dalam mengelola emosi dan perasaan dari orang-orang terdekatnya, karena ini akan sangat membantu dalam membentuk konsep diri yang sangat dibutuhkan sebagai piranti lunak bagi masa depan kepemimpinannya. Proses dalam keluarga ini antara orang tua dan anak merupakan input positif bagi kepemimpinan diri masing-masing, orang tua menempa diri untuk menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga, sementara anak pun secara tidak sadar membentuk diri secara dini untuk mematangkan konsep diri dalam kerangka kepemimpinan di masa datang.

Jika seseorang memperoleh ruang yang cukup mengaplikasikan nilai-nilai yang diyakini dalam keluarga bolehlah kita berharap bahwa sejarah juga akan memberikan ruang yang cukup untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.

Memimpin masyarakat merupakan tanggungjawab yang kompleks bagi seseorang, karena masyarakat terdiri dari unsur-unsur majemuk. Akan ditemukan didalamnya dinamika social yang membutuhkan orang-orang kuat baik secara fisik maupun psikis. Memimpin masyarakat sederhanya terbagi ke dalam 2 kategori: pertama pemimpin formal, adalah mereka yang diberikan peluang atau kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin melalui proses tertentu yang dihasilkan dari kesepakatan-kesepakatan dalam sebuah sistem. Misalnya kepala desa yang dipilih langsung oleh masyarakat, camat, ataupun bupati. 

Mereka adalah para pemimpin formal yang dikenal dengan istilah pemerintah. Kedua, pemimpin non formal, yakni mereka yang diakui dan dijadikan panutan oleh masyarakat karena mereka memiliki seusatu yang layak diterima dan diteladani berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam alam pikiran masyarakat. 

Para pemuka agama adalah pemimpin-pemimpin non formal, kadangkala lebih dihormati daripada pemimpin formal, karena mereka memiliki daya tarik tersendiri, inner beauty,kharisma pribadi memancar keluar dan mempengaruhi sistem berpikir masyarakat. Contoh pemimpin non formal lainnya adalah para selebritis, mereka disanjung dan ditiru banyak orang karena mereka memiliki pesona dan daya tarik, akan tetapi yang ditawarkan mengandung bias-bias modernisasi seperti materialisme, hedonisme yang menghancurkan karakter masyarakat kita dengan adat ketimurannya yang bernuansa religi.

Masyarakat dalam Negara yang kita cintai saat ini membutuhkan sosok-sosok pemimpin baik formal maupun non formal yang tidak lahir secara instan, yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat untuk mendapatkan kembali identitas dan karakter dari bangsa yang beradab. Justru sebaliknya semakin hari kita menyaksikan liberalisasi perilaku, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kita melihat di media betapa para pemegang kekuasaan yang notabene pemimpin yang banyak dijadikan kiblat oleh masyarakat melakukan korupsi, dan kehilangan rasa malu meski hanya untuk mengakui kesalahan.

Tidak ada jaminan mereka yang sejak lahir dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, terbina dari orang tua yang baik dan memahami betapa nilai-nilai agama sangat penting ditanamkan melalui pola keteladanan orang tua tidak akan melakukan perbuatan tercela di kemudian hari, namun peluang sejarah lebih terbuka ketimbang mereka yang dilahirkan dalam kondisi sebaliknya. Tetapi layaklah berusaha dalam kapasitas masing-masing untuk memenuhi amanah kepemimpinan kita sebagai manusia di muka bumi, karena dengan itu kita menemukan makna mengapa kita hadir dalam relatifitas ruang dan waktu.

Tidak ada komentar: