Kamis, 05 November 2020

Manajemen Konflik


Suatu organisasi, perusahaan atau' lembaga pada umumnya dalam mencapai tujuan, banyak dipenganihi oleh adanya kerja sama yang harmonis diantara para karyawannya. Semakin harmonis kerja sama yang dilakukan para karyawan -biasanya semakin tinggi tingkat produktifitas yang dicapai. Namun demikian, suasana kerja sama diantara para karyawan tidaklah selaiu tercipta dengan baik. Banyak faktor yang menyebabkannya. Diantaranya iaiah faktor ketidaksamaan prinsip, pandangan, sistem pepilaian terhadap nilai-nilai tertentu, khusushya'mengenai cara untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan
atau lembaga.

Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan terjadi konflik. 
Konflik pada suatu organisasi merupakan hal yang mungkin saja terjadi. Hal ini cukup wajar, mengingat yang menjadi anggota-organisasi adalah para manusia yang satu dan lainnya mempunyai banyak perbedaan-perbedaan. Selain perbedaan-perbedaan atas; sifat, tingkah laku, jujur, motivasi, status dan kedudukan kerja, sehingga ada perbedaan kepentingan untuk bisa memahami tentang Konflik, bagaimana konflik itu dikelola, maka dalam hal ini kita perlu membicarakan terlebih dahulu; apa, mengapa terjadi konflik dan bagaimana konflik itu bisa dikelola khususnya organisasi sehingga :
  1. Di satu fihak konflik dirangsang dan diperlukan untuk mendinamisir kemajuan organisasi.
  2. Di lain fihak konflik. tidak menjelma menjadi penghambat terciptanya kerja sama diantara para anggptaorganisasi untuk mencapai tujuan.
  3. Justru konflik diharapkan dapat memunculkan kreatifitas di dalam organisasi.

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. 

Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkahlangkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.

  1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
  2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
  3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
  4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
  5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik. sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. 

Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan) ,klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

Tidak ada komentar: